Opini Kasus Pengeroyokan Ade Armando

14.42

Hai gengs. Beberapa hari terakhir ini lagi rame banget soal kasus pengeroyokan Ade Armando yang terjadi di acara demonstrasi 11 April 2022. Bahkan beredar juga rekaman videonya yang memperlihatkan secara jelas pelaku pertama pemukulan, hingga orang-orang yang berusaha menyelamatkan Ade agar tidak mendapat luka yang lebih parah dari kerumunan massa. Hingga saat tulisan ini dibuat, Ade kita sebut saja AA, masih berada di rumah sakit. Ia dikabarkan mengalami pendarahan di bagian kepala dan gangguan kandung kemih akibat pemukulan tersebut. Lalu bagaimana pendapat saya soal kejadian ini? yuk kita bahas dari kacamata warga net.

Info terkini bahwa pelaku pengeroyokan sudah dapat diidentifikasi dan ditangkap oleh pihak berwenang, meskipun sempat ada salah tangkap akibat kesalahan alat pendeteksi wajah. Canggih juga ya polisi punya facial recognition, kayak di film-film :p



Nah di Twitter, kala kasus ini terjadi, sempat ramai dan heboh sekali, karena warga twitter terbagi menjadi beberapa kubu :

  1. Kubu yang senang karena ini adalah bentuk ganjaran dari sikap AA selama ini yang dinilai kontroversial
  2. Kubu yang mengutuk adanya kekerasan, meskipun tidak setuju dengan sikap AA
  3. Kubu yang mendukung AA




Nah kalau dilihat secara nalar dan logika, kita nggak bisa mentah-mentah bilang ini salah A atau salah B. Tapi harus dilihat secara lebih jelas lagi runtutan kejadiannya. Ada 2 poin utama dalam opini saya terkait hal ini,

Pertama, saya setuju untuk menolak segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh siapapun kepada AA maupun orang lain. Seperti apapun orangnya, kita tidak berhak melakukan kekerasan kepada orang lain. Disini kita harus sepakati bersama, bahwa kekerasan macam apapun tidak dibenarkan.

Kedua, pernyataan ini mungkin akan berbeda dengan pendapat teman-teman, adalah pertanyaan terkait

"seberapa korban-kah posisi AA?"

Hal ini membuat saya bertanya-tanya dan membaca beberapa literatur terkait viktimologi dari buku perlindungan saksi dan korban. Karena sejatinya, ketika ada kejadian seperti ini, orang selalu mengatakan bahwa korban tidak bersalah. Tetapi dari logika terdalam kita, kita tahu, bahwa korban juga mengambil peran mengapa kasus ini bisa terjadi.

Menurut pengertiannya, korban adalah seseorang yang menerima perbuatan yang disengaja ataupun kelalaian, suka rela atau dipaksa atau ditipu, atau bencana alam yang kesemuanya benar-benar berisi penderitaan, jiwa, raga, harga dan moril serta sifat ketidakadilan.

Dalam buku juga disebutkan bahwa Peranan Korban pada interaksi sosial dan pengaruhnya terhadap terjadinya kejahatan tidaklah nihil. Sejatinya tidak ada seseorang yang ingin menjadi korban kejahatan. Namun demikian, situasi dan kondisi tertentu dapat menyebabkan calon korban seolah berperan serta terhadap terjadinya suatu tindak kejahatan. Sebab sebenarnya siapa saja dapat menjadi korban tanpa memandang pada tingkatan sosial, umur, jenis kelamin ,suku, bangsa dan pekerjaan. 

Hubungan antara korban dan pelaku sebenarnya adalah hubungan sebab dan akibat. Hal ini tidak berlaku untuk korban bencana alam/ terorisme yang korbannya adalah acak. Tindakan korban seringkali mempengaruhi timbulnya kejahatan sebagai manifestasi dari sikap dan tingkah laku korban sebelum, ketika dan setelah kejadian.

Dalam buku itu juga dijelaskan, bahwa dalam kasus asusila, 4-9% kasus pemerkosaan terjadi karena kelalaian korban, yang memposisikan diri sebagai pihak yang keliru merangsang seseorang ditambah situasi dan kondisi yang mendukung terjadinya pelaku melakukan tindakan kriminal. Contohnya, ketika seseorang berbaju terbuka berjalan di gang sempit dan sepi, akan berbeda dengan seseorang yang berbaju terbuka berjalan di mall yang ramai. Sehingga menempatkan diri dalam situasi dan kondisi yang mendukung adalah bagian dari sebab dan akibat yang juga harus dipahami setiap orang.

Schafer Stephen mengemukakan bahwa "Korban mempunyai tanggung jawab fungsional yakni secara aktif menghindari untuk menjadi korban, tidak memprovokasi, serta tidak memberikan kontribusi terhadap terjadinya tindak pidana yang disebut victim precifitation atau keikut sertaan korban".

Contoh sederhana, seperti korban yang kurang berhati-hati menaruh barang berharga tanpa mengusahakan adanya pengamanan sehingga memberi kesempatan pelaku untuk mencurinya. Contohnya menaruh kalung emas diatas meja kerja kantor tanpa mengusahakan adanya pengamanan seperti menaruhnya di laci yang terkunci.

Dari Viktimologi, ada 6 tipologi korban diantaranya:

  • Completely innocent victim, korban yang sama sekali tidak bersalah, seperti anak-anak yang kadang tidak memahami jika mereka adalah korban. Atau korban yang sedang tidur dirumah yang dikunci rapat, lalu ada maling masuk membobol rumahnya.
  • The victim with mirror guilt and the victim due to his ignorance, korban dengan kesalahan kecil dan korban yang disebabkan oleh kelalaian. Misalkan PSK yang menggoda orang psikopat, ternyata malah dibunuh, misalkan.
  • The victim as guilt as the offender and voluntary victim, contohnya seperti korban bunuh diri
  • The victim more guilty than the offender, contohnya seperti korban yang memancing seseorang untuk berbuat jahat.
  • The most guilty victim and the victim as guilty alone, contohnya seperti seseorang yang ingin membunuh orang lain, ternyata malah senjata makan tuan, alias dia sendiri jadi yang terbunuh. Kayak kasus begal di lombok, yang mau begal malah dirinya sendiri terbunuh.
  • The simulating victim and the imagine as victim, seperti korban yang pura-pura mengaku jadi korban, padahal hanya manipulasi, seperti yang dulu pernah ramai kasus Justice For Audrey di twitter yang ternyata hanya hoax.

Sehingga dari literatur yang saya baca memberikan pemahaman bahwa benar sejatinya, kita tidak bisa mengatakan bahwa korban adalah seseorang yang 100% innocent, atau tidak bersalah sepenuhnya, melainkan bisa jadi korban memiliki pengaruh dan keterkaitan atas terjadinya suatu kejadian.

"saya berada di sisi korban", "salahkan pelaku, bukan salahkan korban" ada juga statement seperti itu, tapi itu menurut saya, hal itu lebih cocok untuk Dukungan Moral bagi korban, bukan secara logis melihat kasus. Bagi polisi dan pihak berwenang, tidak bisa serta merta hanya bilang statement tadi, melainkan harus melihat dari sisi logika dengan keterkaitan korban dan kejadian, makanya kenapa untuk menjadi penegak hukum, sudut pandangnya akan berbeda, dan perlu adanya pelatihan khusus, sehingga nggak kaya netizen yang hanya berkomentar tanpa benar-benar menelisik faktanya.

Nah opini saya disini terkait hal yang kedua dari kasus AA untuk perspektif tipologi korban, menurut saya AA berada pada tipologi kedua, yakni the victim due to his ignorance. Dengan perspektif saya sebagai berikut:

1. AA adalah tokoh publik, yang mana publik sudah sangat sering melihat AA berada di TV/ media sosial dll, sehingga dia bukanlah orang yang tidak terkenal, terlepas dari citra baik atau buruk



2. AA bukanlah bagian dari Massa Demonstrasi yang terjadi pada 11 April 2022. Kenapa? karena massa saat itu membahas sebagian besar adalah untuk menentang kebijakan pemerintah atas naiknya pajak PPN, harga bensin yang naik, kelangkaan minyak goreng, hingga menuntut tidak adanya penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan. Yang mana statement ini full KONTRA pemerintah. Sedangkan AA dikenal publik sebagai sosok yang PRO pemerintah, bahkan hingga disebut sebagai buzzer pemerintah.


3. AA salah tempat, ia bukan Wartawan. Untuk apa ia meliput kegiatan tersebut? untuk konten youtube? urgensinya apa? Kenapa tidak mengutus jurnalis/ staffnya? Najwa Shihab tidak meliput berita secara langsung saat dia sudah terkenal. Dengan 2 hal sebelumnya yang menjadikan dia sangat mudah untuk dikenali diantara kerumunan, dan adanya stigma negatif tentang dirinya, menjadikan posisinya cukup berbahaya untuk berada disana. Apakah ia tidak menyadarinya? ignorance? terlalu polos atau naif? Ibarat AA pakai baju persija, tapi berada di pawai persib. 

4. AA seperti tidak mengenal Indonesia. Harus diakui, bahwa negara kita belum se-aman itu. Masih banyak kekerasan dan kejahatan yang terjadi di negeri ini. Kita sepakat untuk memberantas kejahatan, tapi salah satu caranya adalah dengan menghindari dan mengurangi peluang terjadinya kejahatan, seperti jangan lewat gang sepi jam 2 malam, jangan mencolok pakai perhiasan di kawasan kumuh dsb. Bahkan se-level pak Jokowi saja yang presiden, ada yang Kontra juga, sehingga perlu adanya pengawalan pada saat beliau turun ke lapangan.

Sehingga menurut saya, AA adalah korban yang juga sedikitnya berkontribusi menyebabkan terjadinya hal ini. AA yang tidak menyadari 'posisi'nya membuat dia menjadi "The Man in The Wrong Place". Namun begitu, seperti statemen pertama saya, kekerasan dalam bentuk apapun dan kekerasan yang dilakukan oleh oknum tidak dibenarkan. Para pelaku harus dihukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dan kita harapkan AA bisa segera kembali sembuh dan beraktivitas seperti biasa. Kita harap kejadian ini tidak terulang kedepannya, dan para tokoh publik bisa lebih 'aware' posisinya sebelum turun ke lapangan.



You Might Also Like

0 comment